Jumat, 30 Maret 2012

Rindu Race


PJPM RACING TEAM

         Saat - saat inilah yang paling saya rindukan, saat berjuang dengan rekan 1 tim, mekanik dan para asitennya. Yulianto sebagai sang mekanik, Oji Solo sebagai asisten mereka berdua sangat kompak bekerja sama di padock.
         Setelah bekerja keras di dalam lintasan balap, hanya trophy kemenangan yang kita nanti dari hasil kerja keras kita dalam sehari. Kekompakan dan kekeluargaan yang dijunjung tinggi dalam team ini.
         Saya rindu kalian slalu, saya rindu bekerja sama dengan kalian. 

Kamis, 29 Maret 2012

"SAUDARA TERBAIK"

sebagian doa kami dari orang yang sayang sama kamu maz "RIZAL" 

Inallillahi...Wa' ina' illaihirojiun...
Telah meninggal dunia Dewan Tertinggi club.sdr RIZAL HERMAWAN. Semoga arwahnya di terima di sisi Nya Amin...Amin...Amin.
KAMI SELAKU PENGURUS BESERTA ANGGOTA MENGANUGERAHKAN BINTANG JASA KEPADA "RIZAL HERMAWAN"YANG TELAH MENOREHKAN TINTA EMASNYA BAGI CLUB DOGOZ.
KAMI TAK AKAN PERNAH LUPA AKAN JASA2MU SLAMA INI.....
SELAMAT JALAN KAWAN,SEMOGA AMAL IBADAHMU DITERIMA ALLAH SWT....
WE LUV YOU.......... 

** - "kamu terlalu cepat ninggalin kita mas , jasamu akan slalu ku kenang d hati sampe kapanpun .. SELAMAT JALAN PAHLAWAN DOGOZ KU , smoga dtrima disisiNya .. TUHAN mnunggumu di Surga*"

** Turut berbela sungkawa atas meninggalnya dewan tertinggi Rizal pinguin.
Dogoz hrus bisa berjuang mempertahankan yang sudah kita miliki,dan jadi lebih baik dari sebelumnya.
kalian semua harus janji,untuk bisa bikin dogoz baik dimata msyarakat.

** kami kan selulu mengenang mu mas , dan berikan kebanggaan untuk mu lewati prestasi Dogoz yang akan kita perlihatkan setelah ini .

                          *WE LOVE RIZAL* 
 



Rabu, 28 Maret 2012

Museum Affandi


Museum tersebut berisi seluruh karya-karya sang maestro Affandi semasa hidupnya, karya-karya para pelukis lain, alat transportasi yang dipakainya dahulu, rumah yang ditinggalinya sampai sebuah sanggar yang saat ini dipakai untuk membina bakat melukis anak. Kompleks museum terbagi menjadi empat buah galeri dengan isi dan penataan yang memiliki ciri khas dan karakteristik yang berbeda.

- Galeri I

Pada galeri tersebut pengunjung dapat membeli tiket dan menjumpai pusat informasi. Mulai dari awal hingga akhir karirnya tergambarkan pada karya-karya yang dipamerkan pada galeri tersebut. Pada galeri ini juga terdapat beberapa benda yang berhubungan dengan perjalanan hidup Affandi seperti sepeda ontel, mobil sedan kuno, sandal jepit, kuas, ember, kain, sarung bermotif kotak-kotak, kliping berita koran, dan foto-foto kenangan Affandi, bahkan pipa cangklong kesayangannya. Selain itu, beberapa piagam penghargaan yang pernah diterima Affandi semasa hidupnya dan koleksi perangko PT. POS Indonesia seri gambar Affandi tahun 1997 juga turut dipamerkan.

- Galeri II

Galeri ini sebenarnya dikhususkan untuk memamerkan lukisan-lukisan karya Kartika Affandi. Namun, dalam perkembangannya, galeri ini pun digunakan sebagai ruang pamer koleksi lukisan museum dari beberapa pelukis kondang, seperti Basuki Abdullah, Popo Iskandar, Hendra, Rusli, Fajar Sidik, S. Sujoyono, Barli, Wahdi S, Bagong Kusudiarjo, Mochtar Apin, dan pelukis lainnya. Galeri ini mempunyai 2 lantai. Lantai pertama berisi lukisan-lukisan bersifat abstrak, sedangkan lantai kedua didominasi lukisan bercorak realis.

- Galeri III

Lantai pertama Galeri III ini dipergunakan sebagai ruang pamer karya lukis keluarganya, seperti lukisan-lukisan terbaru karya Kartika Affandi, putri Affandi. Dipamerkan pula lukisan Rukmini Yusuf dan Juki Affandi, dan lukisan sulaman dari kain wol karya Maryati, istri Affandi. Lantai kedua galeri ini digunakan sebagai ruang perawatan lukisan, sedangkan di lantai dasar difungsikan untuk ruang penyimpanan koleksi.

- Galeri IV

Galeri IV ini adalah ruang pamer berbagai lukisan karya Didit, cucu Affandi. Galeri ini terlihat menarik dengan langit-langitnya yang terbuat dari anyaman bambu.
Waktu kunjung Senin - Minggu : 10.00 - 16.00 WIB. Tiket masuk dewasa Rp 10.000,- dan Wisatawan Asing Rp 20.000,- . Akses menuju ke Museum ini sangat mudah karena dapat diakses menggunakan kendaraan pribadi maupun beberapa alternatif kendaraan umum seperti Trans-Jogja. Dari terminal Giwangan menggunakan bus kota jalur 7 atau 10. (kotajogja.com)

Selasa, 27 Maret 2012

Keroncong, riwayatmu kini...


           Semua orang bisa berbicara tentang musik. Seperti layaknya udara, musik memang sudah menjadi kebutuhan semua manusia. Dan seperti tanpa batas, musik terus berkembang mengikuti langkah-langkah jaman. Bunyi-bunyian berirama tersebut, seperti candu yang akan menghipnotis telinga-telinga penikmat musik. Dari beragam jenis musik yang ada saat ini, terdapat satu jenis musik unik yang tak lekang oleh jaman. Yah, 'keroncong'. Keroncong hadir bak pelepas dahaga dari keseragaman musik-musik industri saat ini. Memanglah benar, jika tidak semua orang bisa menikmati musik eksotik ini. Tetapi, nuansa keroncong begitu mahal dan berkelas untuk penikmatnya.
 Akar keroncong berasal dari sejenis musik Portugis yang dikenal sebagai fado, yang diperkenalkan oleh para pelaut dan budak kapal niaga bangsa itu sejak abad ke-16 di Nusantara. Dari daratan India (Goa) masuklah musik ini pertama kali di Malaka dan kemudian dimainkan oleh para budak dari Maluku. Melemahnya pengaruh Portugis pada abad ke-17 di Nusantara tidak dengan serta-merta berarti hilang pula musik ini.
Tak terasa, kemodernan jaman akhirnya menggerus nilai-nilai musik keroncong yang dulu begitu jaya di jamannya. Keroncong tak lagi mengalun dengan gagah, karena kalah oleh musik-musik populer yang kini sedang marak. Alunan merdu lagu bengawan solo kini seperti tak bersuara ditelan waktu. Generasi yang berubah membuat pola baru yang kian menyingkirkan musik nan syahdu tersebut.
Gairah bermusik di kalangan anak muda tampaknya tidak dibarengi dengan kemampuan musikalitas yang memadai, walaupun kenyataannya karya-karya mereka cukup populer saat ini. Padahal, musik keroncong merupakan salah satu aset budaya bangsa yang sangat luhur. Kendati bukan warisan asli Indonesia, musik keroncong patut mendapatkan posisi yang sangat strategis di kalangan masyarakat, karena genre musik ini membawa alunan syair yang menggugah hati dan pikiran manusia.
Kini, eksistensi musik keroncong semakin jauh dari minat kawula muda. Bahkan, nyaris tidak pernah terdengar adanya penghargaan terhadap musik keroncong yang seolah hilang dari peredaran industri musik Tanah Air. Kenyataannya, musik pop lebih memberikan daya pikat dan instrumen yang sangat memukau ketimbang musik keroncong yang dianggap klasik dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman.
Keprihatinan akan musik keroncong yang tidak lagi mendapatkan perhatian dari industri musik di Indonesia. Ini terlihat jelas dalam daftar calon penerima penghargaan-penghargaan musik yang ada di dalam negeri, di mana tidak ada satu pun lagu atau nama penyanyi keroncong yang tercantum di dalamnya. Menghadapi kenyataan ini maka timbul pertanyaan, apakah lagu dan penyanyi keroncong memang tidak layak menerima penghargaan seperti itu? Mengapa musik dan lagu keroncong seolah-olah dimarjinalkan oleh industri musik di Indonesia? Pertanyaan ini hanya akan terjawab oleh nurani yang masih sadar bahwa kemegahan musik keroncong terdapat dalam jiwa yang tercipta di setiap nadanya. Sungguh, musik ini tidak akan pernah tergantikan oleh musik apapun.
Berbicara tentang keroncong, tidak lengkap rasanya jika tidak membicarakan alm. Gesang, sang maestro keroncong. Di kalangan pecinta keroncong, Bengawan Solo adalah lagu kebangsaan yang wajib dinyanyikan. Lagu bengawan solo adalah lagu keroncong yang mampu menyebrangi lautan. Lagu yang sangat di gemari di Jepang. Merupakan bahasa umum yang melintasi dunia. Adalah Gesang Martohartono, atau yang akrab dipanggil Gesang, pencipta lagu fenomenal tersebut. Gesang lahir di Surakarta, Jawa Tengah, pada tanggal 1 Oktober 1917. Lewat lagu ciptaannya Bengawan Solo, Gesang akhirnya dikenal sebagai maestro keroncong di Asia, terutama di Indonesai dan Jepang. Setidaknya, lagu bengawan solo tersebut sudah diterjemahkan ke dalam 13 bahasa.
Kekagumannya terhadap sungai bengawan solo, membuat Gesang muda kala itu terinspirasi dan akhirnya menciptakan sebuah lagu apik tersebut dalam waktu enam bulan. Sebagai bentuk penghargaan atas jasanya terhadap perkembangan musik keroncong, pada tahun 1983 Jepang mendirikan Taman Gesang di dekat Bengawan Solo. Pengelolaan taman ini didanai oleh Dana Gesang, yaitu sebuah lembaga yang didirikan untuk Gesang di Jepang. Sungguh ironis, musik keroncong yang khas Indonesia ternyata lebih dihargai di negeri lain ketimbang di negerinya sendiri. Sepertinya orang Indonesia malu mendengarkan musiknya sendiri. Lihatlah, betapa seorang Gesang lebih diagung-agungkan di Jepang daripada di bumi pertiwi. Bahkan, sampai menutup mata pada tanggal 20 Mei 2010 silam, Gesang tak lebih populer dibandingkan musisi-musisi baru yang masih dipertanyakan kredibiltasnya. Gesang yang sudah membawa harum nama bangsa Indonesia di luar negeri sana, seperti bukan orang besar yang berharga. Padahal, Gesang adalah mutiara mahal milik bangsa kita. Sang “buaya keroncong” meninggal tanpa apresiasi yang layak untuk kiprahnya di musik nan merdu tersebut.
Namun kenyataan tetaplah kenyataan, keroncong seperti mati suri. Kaum muda tak lagi bergairah untuk menghidupkannya kembali, terbuai dengan komersialitas yang lebih menjanjikan. Pelan-pelan musik luar biasa ini meredup tak bercahaya, melirih tak bergaung. Segelintir orang yang mencintainya, justru lebih dihargai di negeri orang. Kesalahan ada pada jaman, yang akhirnya memudarkan keindahan-keindahan musik keroncong.
Tak salah jika ada ungkapan, keroncong, riwayatmu kini. Keroncong, adalah tanggung jawab generasi muda. Saatnya memunculkan gesang-gesang yang baru, sehingga kiprah Indonesia di mata dunia bisa terangkat melalui musik keroncong. Karena, jika musik adalah bagian dari cara manusia berbudaya, tentu tak ada satupun yang boleh hilang dari catatan sejarah, termasuk keroncong.

Senin, 26 Maret 2012

"SEPENGGAL KISAH PERJUANGAN DI ATAS ASPAL HITAM"

sepenggal kisah menyalurkan hobi.. #129 


Road race Matic kelas FFA - 250cc Alun - alun kota Kebumen 2008

#129


Road Race Banjar 2010 #129




2011 Alun - alun kota Kebumen "Bupati Cup"



Perjuangan dari tahun 2008 - 2011 menghasilkan 8 buah trophy



"SEPENGGAL KISAH PERJUANGAN DI ATAS ASPAL HITAM"

           Nama saya Kurnia Fajar Dwi. W biasa dipanggil "FAJAR", yang dilahirkan di tengah - tengah keluarga yang sangat bahagia. Semakin bertambahnya umur, saya sangat menyukai hobi yang berbau motor, misalnya saja Balap Liar, Roadrace dimana setiap hobi itu saya menyabet kemenangan.

           PERTAMA kalinya terjun di dunia malam saat masih duduk di kelas 3 SMP, waktu itu saya pegang pertama kali motor SUZUKI SATRI FU-150cc dimaana mesin sudah di modifikasi atau bisa dikatakan bukan standart pabrik lagi berkat polesan mekanik handal YULIANTO yang punya bengkel Q'MO POETRA RACING. Setiap malam minggu mencari uang di atas aspal hitam, menang dan kalah sering merotasi keberuntungan kita.

           SETELAH pensiun sempat 1/2 tahun dari ajang balap liar, saya dan mekanik memutuskan untuk terjun di bidang balap resmi "ROADRACE", di even ini saya memutuskan untuk beralih ke MATIC YAMAHA MIO di bore up sampai dengan 250cc.

             Flashback sedikit tentang perjuangan awalku main Roadrace ini TIDAK di dukung orang tua, selama 1 TAHUN. Setelah menyabet beberapa trophy selama 1 tahun itu, AKHIRNYA orangtua mendukung hobi dan selalu mensuport hobiku. Seiring berjalannya waktu, mendalami hobi itu hanya selama 3 TAHUN dan menghasilkan 8 TROPHY diantaranya JUARA 2 : 3x dan JUARA 5 : 5x.

             Karir saya berhenti karena bertambahnya BERAT BADAN yang tidak memungkinnya lagi untuk mengendarai kuda besi. SELAIN itu juga karena faktor KULIAH, saya harus bisa kejar target supaya bisa lebih fokus dan cepet LULUS. amiiiiinn.. !

Minggu, 25 Maret 2012

Sedamai Makna Malioboro


“Pulang ke kotamu…ada setangkup haru dalam rindu…masih seperti dulu, tiap sudut menyapaku bersahabat penuh selaksa makna…”
            Sayup-sayup terdengar alunan syahdu dari seniman jalanan yang menghiasi pinggiran malioboro tepat di 0 km. Yah, Yogyakarta, kota seribu budaya yang selalu menghadirkan eksotisme dari setiap sudut-sudutnya. Begitulah malioboro pun mewakili keramahan dari kota Yogyakarta. Hilir mudik kendaraan yang melintas tidak pernah mengurangi ketentraman setiap orang yang lalu-lalang di pinggiran malioboro. Langit sore yang begitu biru seolah-olah mengucapkan salam kepada semua orang yang sedang tersihir oleh kebersahajaan malioboro. Sekalipun ramai, ajaibnya selalu saja bisa menjadi penawar penat setelah seharian berkutat dengan aktivitas. Tidak bisa dipungkiri, ada energi lain yang dimiliki malioboro, yang bisa menghipnotis siapa saja yang berkunjung ke sana.
            Malioboro sore begitu nyaman, dan mungkin memang selalu nyaman. Tahukah? Bahwa ada yang begitu nyaman menikmati setiap sore yang indah di malioboro. Walaupun dunia begitu keras menekannya, tetapi bahagia selalu tersirat dari wajahnya. Dia ataupun mereka adalah aset berharga penerus kekhasan yang dimiliki oleh Yogyakarta. Dari keriput-keriput yang terukir di wajahnya, menggambarkan perjuangan kehidupan yang tidak semudah mereka yang duduk di kursi mewah di bawah atap megah dengan pendingin ruangan kelas nomor satu. Kulitnya menghitam kelam karena terlalu akrab berkawan dengan matahari. Bahkan aroma tubuhnya pun pekat dengan matahari. Kaki-kakinya yang dulu kekar dan tegas, seiring dimakannya waktu mulai merapuh dan mengering. Tetapi tuntutan perut membuatnya justru semakin kuat.

Yah, dia ataupun mereka yang selalu setia menjaga malioboro tercinta dengan becak tuanya. Banyak yang tidak mengerti bahwa sekalipun fisiknya terasa layu, tetapi kehangatan malioboro selalu bisa membuat mereka punya semangat yang baru. Apalagi jika mereka teringat bahwa sang istri dan buah hati menunggunya dengan harapan sesuap nasi, ramainya malioboro pun akan mereka tantang. Terkadang lintingan rokok menemani mereka untuk berbagi kerasnya kehidupan yang dijalani. Ironis memang, dengan bajunya yang bau matahari, mereka setia menanti setiap orang yang ingin menikmati indahnya kota Jogja. Sementara di sisi lain, mobil-mobil mewah kerap berhenti di depan mereka, memamerkan senyum bangga dan bahagia lantaran berhasil menjadi orang yang kaya. Tetapi mereka, yah, mereka yang selalu setia dengan becaknya, mempunyai standar bahagia yang berbeda. Kehidupan yang tidak melulu bergelimang harta, kehidupan yang tidak selalu dipagari tembok berlapis emas, kehidupan yang tidak tentang uang dan kekuasaan. Hidup mereka adalah tentang bersyukur. Mensyukuri bahwa ternyata di atas langit masih ada langit. Toh walaupun jarang mencicipi nikmatnya daging ayam, mereka pun masih tetap hidup bahagia. Hanya dengan tersenyum. Tersenyum ramah pada sekitar, walaupun ratusan orang selalu menolaknya, dan memandang sinis pada mereka. Mereka tetap tersenyum meskipun kepulan asap-asap mobil mewah selalu menodai udara segar yang mereka punya. Begitulah, betapa berharganya mereka, karena merekalah yang selalu mempertahankan keramahtamahan dan kebersahajaan Yogyakarta dengan senyum tulus mereka.
            Senja tak lagi muda, mentari siap berpulang ke barat sehingga menimbulkan nuansa yang begitu hebat luar biasa. Bias-bias cahaya kemerahan muncul di bawah langit malioboro senja itu. Memayungi senyum-senyum mereka yang tidak pernah habis dimakan usia. Lelah pun tak pernah bisa menyamarkan betapa mereka mencintai pekerjaannya. Bercengkerama dengan sesamanya, berbagi pahitnya hidup yang selalu mereka anggap manis. Tertawa lepas untuk semua beban yang ditanggungnya, hanya karena mereka selalu percaya bahwa Tuhan sudah menentukan rejeki orang masing-masing. Betapa falsafah kehidupan ternyata justru bisa terujar dari mereka yang tidak menyandang gelar apapun. Mereka bukan guru besar, bukan seorang sarjana, bukan seorang penguasa, tetapi nilai-nilai dari kehidupan begitu fasih keluar dari mulut mereka. Berbasuh peluh mereka saling menyapa, tidak putus asa menawarkan keeksotisan malioboro di atas becak mereka.
            Ketika satu-persatu burung-burung terbang untuk pulang, di sudut berbeda malioboro, ada mereka yang lain. Mereka yang menikmati berakhirnya senja di malioboro dengan menawarkan alunan musik syahdunya. Nada demi nada yang tercipta adalah gambaran betapa mereka mencintai kehidupan yang Tuhan berikan. Orang boleh berkata penampilannya berantakan, pakaiannya lusuh, wajahnya kotor, tetapi mereka selalu tertawa. Mereka selalu bernyanyi. Seolah-olah hidup hanyalah sebuah perjalanan singkat yang harus mereka isi dengan senyum dan lagu. Mereka tidak pernah peduli dengan suara-suara orang lain yang tidak berpengaruh dalam kehidupan mereka. Tak peduli apakah perut kosong mereka esok hari bisa terisi atau tidak, mereka hanya ingin tetap menikmati hidup dengan bahagia. Yah, sesederhana itulah arti hidup bagi mereka. Tanpa harta, tanpa benda, tanpa rumah mewah, tanpa jabatan. Cukup bahagia dan lagu saja.

Akhirnya, senja pun larut, bersambut malam pekat yang dihiasi kerlap-kerlip lampu kota di setiap sudutnya. Mereka masih setia menemani Yogyakarta, menemani malioboro. Ada mereka yang dengan becak tuanya, dan ada mereka yang dengan gitar tuanya. Yang jelas, mereka sama-sama selalu tertawa bahagia. Benar adanya jika ada yang berkata bahwa budaya adalah sesuatu yang memiliki nilai. Mungkin bukan hanya tentang adat atau kebiasaan semata. Tetapi ada budaya-budaya yang lain, yang bisa tercipta karena nilai yang begitu melekat pada pribadi manusia-manusia sederhana seperti mereka. Mereka ciptakan keramahan, mereka ciptakan sahaja, dan mereka ciptakan damai bahagia yang selalu mereka bagi pada siapa saja yang berlalu di depannya. Berada di bawah langit malioboro, memang akan merasakan suasana yang berbeda dengan kota-kota lain yang ada di Indonesia. Jangan salahkan siapapun jika memang ada rasa ingin kembali dan rindu untuk pulang ke Yogyakarta. Itulah sebuah kharisma malioboro yang selalu memikat seluruh belahan dunia. Bahkan di malam yang gelap pun, malioboro akan selalu bersinar.
            Selamat datang di Yogyakarta, selamat datang di malioboro. Inilah tempat yang akan selalu menyambutmu dengan senyum bersahaja penuh kekeluargaan dan menawarkan keramahtamahan yang penuh makna. Percayalah, tempat ini akan memaksamu untuk kembali dan kembali lagi.

First of all

Sebagai langkah awal dan sangat pemula untuk memposting blog, ada baiknya jika berkenalan terlebih dahulu. Nama saya Kurnia Fajar Dwi Wicaksono atau biasa dipanggil Fajar atau Black (mungkin karena saya hitam ya?). Sampai saat ini saya masih tercatat sebagai mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta.  Walaupun bukan asli dari Yogyakarta, tetapi menetap cukup lama di Yogyakarta untuk studi membuat saya sangat mencintai Yogyakarta. Apalagi yang harus saya bicarakan?? Usia? Wow, yang jelas saya masih muda, belum genap 25 tahun. Baiklah, mungkin tulisan-tulisan saya selanjutnya akan lebih menggambarkan dan menjelaskan siapa saya. Selamat membaca :)