“Pulang ke kotamu…ada setangkup
haru dalam rindu…masih seperti dulu, tiap sudut menyapaku bersahabat penuh
selaksa makna…”
Sayup-sayup terdengar alunan syahdu
dari seniman jalanan yang menghiasi pinggiran malioboro tepat di 0 km. Yah,
Yogyakarta, kota seribu budaya yang selalu menghadirkan eksotisme dari setiap
sudut-sudutnya. Begitulah malioboro pun mewakili keramahan dari kota
Yogyakarta. Hilir mudik kendaraan yang melintas tidak pernah mengurangi
ketentraman setiap orang yang lalu-lalang di pinggiran malioboro. Langit sore
yang begitu biru seolah-olah mengucapkan salam kepada semua orang yang sedang
tersihir oleh kebersahajaan malioboro. Sekalipun ramai, ajaibnya selalu saja
bisa menjadi penawar penat setelah seharian berkutat dengan aktivitas. Tidak
bisa dipungkiri, ada energi lain yang dimiliki malioboro, yang bisa
menghipnotis siapa saja yang berkunjung ke sana.
Malioboro sore begitu nyaman,
dan mungkin memang selalu nyaman. Tahukah? Bahwa ada yang begitu nyaman
menikmati setiap sore yang indah di malioboro. Walaupun dunia begitu keras
menekannya, tetapi bahagia selalu tersirat dari wajahnya. Dia ataupun mereka
adalah aset berharga penerus kekhasan yang dimiliki oleh Yogyakarta. Dari
keriput-keriput yang terukir di wajahnya, menggambarkan perjuangan kehidupan
yang tidak semudah mereka yang duduk di kursi mewah di bawah atap megah dengan
pendingin ruangan kelas nomor satu. Kulitnya menghitam kelam karena terlalu
akrab berkawan dengan matahari. Bahkan aroma tubuhnya pun pekat dengan
matahari. Kaki-kakinya yang dulu kekar dan tegas, seiring dimakannya waktu
mulai merapuh dan mengering. Tetapi tuntutan perut membuatnya justru semakin
kuat.
Yah, dia ataupun mereka yang selalu
setia menjaga malioboro tercinta dengan becak tuanya. Banyak yang tidak
mengerti bahwa sekalipun fisiknya terasa layu, tetapi kehangatan malioboro
selalu bisa membuat mereka punya semangat yang baru. Apalagi jika mereka teringat bahwa sang
istri dan buah hati menunggunya dengan harapan sesuap nasi, ramainya malioboro pun akan mereka tantang. Terkadang lintingan rokok menemani mereka
untuk berbagi kerasnya kehidupan yang dijalani. Ironis memang, dengan bajunya
yang bau matahari, mereka setia menanti setiap orang yang ingin menikmati
indahnya kota Jogja. Sementara di sisi lain, mobil-mobil mewah kerap berhenti
di depan mereka, memamerkan senyum bangga dan bahagia lantaran berhasil menjadi
orang yang kaya. Tetapi mereka, yah, mereka yang selalu setia dengan becaknya,
mempunyai standar bahagia yang berbeda. Kehidupan yang tidak melulu bergelimang
harta, kehidupan yang tidak selalu dipagari tembok berlapis emas, kehidupan
yang tidak tentang uang dan kekuasaan. Hidup mereka adalah tentang bersyukur.
Mensyukuri bahwa ternyata di atas langit masih ada langit. Toh walaupun jarang
mencicipi nikmatnya daging ayam, mereka pun masih tetap hidup bahagia. Hanya
dengan tersenyum. Tersenyum ramah pada sekitar, walaupun ratusan orang selalu
menolaknya, dan memandang sinis pada mereka. Mereka tetap tersenyum meskipun kepulan
asap-asap mobil mewah selalu menodai udara segar yang mereka punya. Begitulah,
betapa berharganya mereka, karena merekalah yang selalu mempertahankan
keramahtamahan dan kebersahajaan Yogyakarta dengan senyum tulus mereka.
Senja tak lagi muda, mentari siap
berpulang ke barat sehingga menimbulkan nuansa yang begitu hebat luar biasa.
Bias-bias cahaya kemerahan muncul di bawah langit malioboro senja itu.
Memayungi senyum-senyum mereka yang tidak pernah habis dimakan usia. Lelah pun
tak pernah bisa menyamarkan betapa mereka mencintai pekerjaannya. Bercengkerama
dengan sesamanya, berbagi pahitnya hidup yang selalu mereka anggap manis.
Tertawa lepas untuk semua beban yang ditanggungnya, hanya karena mereka selalu
percaya bahwa Tuhan sudah menentukan rejeki orang masing-masing. Betapa
falsafah kehidupan ternyata justru bisa terujar dari mereka yang tidak
menyandang gelar apapun. Mereka bukan guru besar, bukan seorang sarjana, bukan
seorang penguasa, tetapi nilai-nilai dari kehidupan begitu fasih keluar dari mulut
mereka. Berbasuh peluh mereka saling menyapa, tidak putus asa menawarkan
keeksotisan malioboro di atas becak mereka.
Ketika satu-persatu burung-burung
terbang untuk pulang, di sudut berbeda malioboro, ada mereka yang lain. Mereka
yang menikmati berakhirnya senja di malioboro dengan menawarkan alunan musik
syahdunya. Nada demi nada yang tercipta adalah gambaran betapa mereka mencintai
kehidupan yang Tuhan berikan. Orang boleh berkata penampilannya berantakan,
pakaiannya lusuh, wajahnya kotor, tetapi mereka selalu tertawa. Mereka selalu
bernyanyi. Seolah-olah hidup hanyalah sebuah perjalanan singkat yang harus
mereka isi dengan senyum dan lagu. Mereka tidak pernah peduli dengan
suara-suara orang lain yang tidak berpengaruh dalam kehidupan mereka. Tak peduli
apakah perut kosong mereka esok hari bisa terisi atau tidak, mereka hanya ingin
tetap menikmati hidup dengan bahagia. Yah, sesederhana itulah arti hidup bagi
mereka. Tanpa harta, tanpa benda, tanpa rumah mewah, tanpa jabatan. Cukup
bahagia dan lagu saja.
Akhirnya, senja pun larut, bersambut
malam pekat yang dihiasi kerlap-kerlip lampu kota di setiap sudutnya. Mereka
masih setia menemani Yogyakarta, menemani malioboro. Ada mereka yang dengan
becak tuanya, dan ada mereka yang dengan gitar tuanya. Yang jelas, mereka sama-sama
selalu tertawa bahagia. Benar adanya jika ada yang berkata bahwa budaya adalah
sesuatu yang memiliki nilai. Mungkin bukan hanya tentang adat atau kebiasaan
semata. Tetapi ada budaya-budaya yang lain, yang bisa tercipta karena nilai yang
begitu melekat pada pribadi manusia-manusia sederhana seperti mereka. Mereka
ciptakan keramahan, mereka ciptakan sahaja, dan mereka ciptakan damai bahagia
yang selalu mereka bagi pada siapa saja yang berlalu di depannya. Berada di
bawah langit malioboro, memang akan merasakan suasana yang berbeda dengan
kota-kota lain yang ada di Indonesia. Jangan salahkan siapapun jika memang ada
rasa ingin kembali dan rindu untuk pulang ke Yogyakarta. Itulah sebuah kharisma
malioboro yang selalu memikat seluruh belahan dunia. Bahkan di malam yang gelap
pun, malioboro akan selalu bersinar.
Selamat datang di Yogyakarta,
selamat datang di malioboro. Inilah tempat yang akan selalu menyambutmu dengan
senyum bersahaja penuh kekeluargaan dan menawarkan keramahtamahan yang penuh
makna. Percayalah, tempat ini akan memaksamu untuk kembali dan kembali lagi.
Nice ndut...bisa nulis ternyata kamu...more please....
BalasHapushahahaa.. iseng2 juk :D
BalasHapus