Minggu, 25 Maret 2012

Sedamai Makna Malioboro


“Pulang ke kotamu…ada setangkup haru dalam rindu…masih seperti dulu, tiap sudut menyapaku bersahabat penuh selaksa makna…”
            Sayup-sayup terdengar alunan syahdu dari seniman jalanan yang menghiasi pinggiran malioboro tepat di 0 km. Yah, Yogyakarta, kota seribu budaya yang selalu menghadirkan eksotisme dari setiap sudut-sudutnya. Begitulah malioboro pun mewakili keramahan dari kota Yogyakarta. Hilir mudik kendaraan yang melintas tidak pernah mengurangi ketentraman setiap orang yang lalu-lalang di pinggiran malioboro. Langit sore yang begitu biru seolah-olah mengucapkan salam kepada semua orang yang sedang tersihir oleh kebersahajaan malioboro. Sekalipun ramai, ajaibnya selalu saja bisa menjadi penawar penat setelah seharian berkutat dengan aktivitas. Tidak bisa dipungkiri, ada energi lain yang dimiliki malioboro, yang bisa menghipnotis siapa saja yang berkunjung ke sana.
            Malioboro sore begitu nyaman, dan mungkin memang selalu nyaman. Tahukah? Bahwa ada yang begitu nyaman menikmati setiap sore yang indah di malioboro. Walaupun dunia begitu keras menekannya, tetapi bahagia selalu tersirat dari wajahnya. Dia ataupun mereka adalah aset berharga penerus kekhasan yang dimiliki oleh Yogyakarta. Dari keriput-keriput yang terukir di wajahnya, menggambarkan perjuangan kehidupan yang tidak semudah mereka yang duduk di kursi mewah di bawah atap megah dengan pendingin ruangan kelas nomor satu. Kulitnya menghitam kelam karena terlalu akrab berkawan dengan matahari. Bahkan aroma tubuhnya pun pekat dengan matahari. Kaki-kakinya yang dulu kekar dan tegas, seiring dimakannya waktu mulai merapuh dan mengering. Tetapi tuntutan perut membuatnya justru semakin kuat.

Yah, dia ataupun mereka yang selalu setia menjaga malioboro tercinta dengan becak tuanya. Banyak yang tidak mengerti bahwa sekalipun fisiknya terasa layu, tetapi kehangatan malioboro selalu bisa membuat mereka punya semangat yang baru. Apalagi jika mereka teringat bahwa sang istri dan buah hati menunggunya dengan harapan sesuap nasi, ramainya malioboro pun akan mereka tantang. Terkadang lintingan rokok menemani mereka untuk berbagi kerasnya kehidupan yang dijalani. Ironis memang, dengan bajunya yang bau matahari, mereka setia menanti setiap orang yang ingin menikmati indahnya kota Jogja. Sementara di sisi lain, mobil-mobil mewah kerap berhenti di depan mereka, memamerkan senyum bangga dan bahagia lantaran berhasil menjadi orang yang kaya. Tetapi mereka, yah, mereka yang selalu setia dengan becaknya, mempunyai standar bahagia yang berbeda. Kehidupan yang tidak melulu bergelimang harta, kehidupan yang tidak selalu dipagari tembok berlapis emas, kehidupan yang tidak tentang uang dan kekuasaan. Hidup mereka adalah tentang bersyukur. Mensyukuri bahwa ternyata di atas langit masih ada langit. Toh walaupun jarang mencicipi nikmatnya daging ayam, mereka pun masih tetap hidup bahagia. Hanya dengan tersenyum. Tersenyum ramah pada sekitar, walaupun ratusan orang selalu menolaknya, dan memandang sinis pada mereka. Mereka tetap tersenyum meskipun kepulan asap-asap mobil mewah selalu menodai udara segar yang mereka punya. Begitulah, betapa berharganya mereka, karena merekalah yang selalu mempertahankan keramahtamahan dan kebersahajaan Yogyakarta dengan senyum tulus mereka.
            Senja tak lagi muda, mentari siap berpulang ke barat sehingga menimbulkan nuansa yang begitu hebat luar biasa. Bias-bias cahaya kemerahan muncul di bawah langit malioboro senja itu. Memayungi senyum-senyum mereka yang tidak pernah habis dimakan usia. Lelah pun tak pernah bisa menyamarkan betapa mereka mencintai pekerjaannya. Bercengkerama dengan sesamanya, berbagi pahitnya hidup yang selalu mereka anggap manis. Tertawa lepas untuk semua beban yang ditanggungnya, hanya karena mereka selalu percaya bahwa Tuhan sudah menentukan rejeki orang masing-masing. Betapa falsafah kehidupan ternyata justru bisa terujar dari mereka yang tidak menyandang gelar apapun. Mereka bukan guru besar, bukan seorang sarjana, bukan seorang penguasa, tetapi nilai-nilai dari kehidupan begitu fasih keluar dari mulut mereka. Berbasuh peluh mereka saling menyapa, tidak putus asa menawarkan keeksotisan malioboro di atas becak mereka.
            Ketika satu-persatu burung-burung terbang untuk pulang, di sudut berbeda malioboro, ada mereka yang lain. Mereka yang menikmati berakhirnya senja di malioboro dengan menawarkan alunan musik syahdunya. Nada demi nada yang tercipta adalah gambaran betapa mereka mencintai kehidupan yang Tuhan berikan. Orang boleh berkata penampilannya berantakan, pakaiannya lusuh, wajahnya kotor, tetapi mereka selalu tertawa. Mereka selalu bernyanyi. Seolah-olah hidup hanyalah sebuah perjalanan singkat yang harus mereka isi dengan senyum dan lagu. Mereka tidak pernah peduli dengan suara-suara orang lain yang tidak berpengaruh dalam kehidupan mereka. Tak peduli apakah perut kosong mereka esok hari bisa terisi atau tidak, mereka hanya ingin tetap menikmati hidup dengan bahagia. Yah, sesederhana itulah arti hidup bagi mereka. Tanpa harta, tanpa benda, tanpa rumah mewah, tanpa jabatan. Cukup bahagia dan lagu saja.

Akhirnya, senja pun larut, bersambut malam pekat yang dihiasi kerlap-kerlip lampu kota di setiap sudutnya. Mereka masih setia menemani Yogyakarta, menemani malioboro. Ada mereka yang dengan becak tuanya, dan ada mereka yang dengan gitar tuanya. Yang jelas, mereka sama-sama selalu tertawa bahagia. Benar adanya jika ada yang berkata bahwa budaya adalah sesuatu yang memiliki nilai. Mungkin bukan hanya tentang adat atau kebiasaan semata. Tetapi ada budaya-budaya yang lain, yang bisa tercipta karena nilai yang begitu melekat pada pribadi manusia-manusia sederhana seperti mereka. Mereka ciptakan keramahan, mereka ciptakan sahaja, dan mereka ciptakan damai bahagia yang selalu mereka bagi pada siapa saja yang berlalu di depannya. Berada di bawah langit malioboro, memang akan merasakan suasana yang berbeda dengan kota-kota lain yang ada di Indonesia. Jangan salahkan siapapun jika memang ada rasa ingin kembali dan rindu untuk pulang ke Yogyakarta. Itulah sebuah kharisma malioboro yang selalu memikat seluruh belahan dunia. Bahkan di malam yang gelap pun, malioboro akan selalu bersinar.
            Selamat datang di Yogyakarta, selamat datang di malioboro. Inilah tempat yang akan selalu menyambutmu dengan senyum bersahaja penuh kekeluargaan dan menawarkan keramahtamahan yang penuh makna. Percayalah, tempat ini akan memaksamu untuk kembali dan kembali lagi.

2 komentar: