Selasa, 27 Maret 2012

Keroncong, riwayatmu kini...


           Semua orang bisa berbicara tentang musik. Seperti layaknya udara, musik memang sudah menjadi kebutuhan semua manusia. Dan seperti tanpa batas, musik terus berkembang mengikuti langkah-langkah jaman. Bunyi-bunyian berirama tersebut, seperti candu yang akan menghipnotis telinga-telinga penikmat musik. Dari beragam jenis musik yang ada saat ini, terdapat satu jenis musik unik yang tak lekang oleh jaman. Yah, 'keroncong'. Keroncong hadir bak pelepas dahaga dari keseragaman musik-musik industri saat ini. Memanglah benar, jika tidak semua orang bisa menikmati musik eksotik ini. Tetapi, nuansa keroncong begitu mahal dan berkelas untuk penikmatnya.
 Akar keroncong berasal dari sejenis musik Portugis yang dikenal sebagai fado, yang diperkenalkan oleh para pelaut dan budak kapal niaga bangsa itu sejak abad ke-16 di Nusantara. Dari daratan India (Goa) masuklah musik ini pertama kali di Malaka dan kemudian dimainkan oleh para budak dari Maluku. Melemahnya pengaruh Portugis pada abad ke-17 di Nusantara tidak dengan serta-merta berarti hilang pula musik ini.
Tak terasa, kemodernan jaman akhirnya menggerus nilai-nilai musik keroncong yang dulu begitu jaya di jamannya. Keroncong tak lagi mengalun dengan gagah, karena kalah oleh musik-musik populer yang kini sedang marak. Alunan merdu lagu bengawan solo kini seperti tak bersuara ditelan waktu. Generasi yang berubah membuat pola baru yang kian menyingkirkan musik nan syahdu tersebut.
Gairah bermusik di kalangan anak muda tampaknya tidak dibarengi dengan kemampuan musikalitas yang memadai, walaupun kenyataannya karya-karya mereka cukup populer saat ini. Padahal, musik keroncong merupakan salah satu aset budaya bangsa yang sangat luhur. Kendati bukan warisan asli Indonesia, musik keroncong patut mendapatkan posisi yang sangat strategis di kalangan masyarakat, karena genre musik ini membawa alunan syair yang menggugah hati dan pikiran manusia.
Kini, eksistensi musik keroncong semakin jauh dari minat kawula muda. Bahkan, nyaris tidak pernah terdengar adanya penghargaan terhadap musik keroncong yang seolah hilang dari peredaran industri musik Tanah Air. Kenyataannya, musik pop lebih memberikan daya pikat dan instrumen yang sangat memukau ketimbang musik keroncong yang dianggap klasik dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman.
Keprihatinan akan musik keroncong yang tidak lagi mendapatkan perhatian dari industri musik di Indonesia. Ini terlihat jelas dalam daftar calon penerima penghargaan-penghargaan musik yang ada di dalam negeri, di mana tidak ada satu pun lagu atau nama penyanyi keroncong yang tercantum di dalamnya. Menghadapi kenyataan ini maka timbul pertanyaan, apakah lagu dan penyanyi keroncong memang tidak layak menerima penghargaan seperti itu? Mengapa musik dan lagu keroncong seolah-olah dimarjinalkan oleh industri musik di Indonesia? Pertanyaan ini hanya akan terjawab oleh nurani yang masih sadar bahwa kemegahan musik keroncong terdapat dalam jiwa yang tercipta di setiap nadanya. Sungguh, musik ini tidak akan pernah tergantikan oleh musik apapun.
Berbicara tentang keroncong, tidak lengkap rasanya jika tidak membicarakan alm. Gesang, sang maestro keroncong. Di kalangan pecinta keroncong, Bengawan Solo adalah lagu kebangsaan yang wajib dinyanyikan. Lagu bengawan solo adalah lagu keroncong yang mampu menyebrangi lautan. Lagu yang sangat di gemari di Jepang. Merupakan bahasa umum yang melintasi dunia. Adalah Gesang Martohartono, atau yang akrab dipanggil Gesang, pencipta lagu fenomenal tersebut. Gesang lahir di Surakarta, Jawa Tengah, pada tanggal 1 Oktober 1917. Lewat lagu ciptaannya Bengawan Solo, Gesang akhirnya dikenal sebagai maestro keroncong di Asia, terutama di Indonesai dan Jepang. Setidaknya, lagu bengawan solo tersebut sudah diterjemahkan ke dalam 13 bahasa.
Kekagumannya terhadap sungai bengawan solo, membuat Gesang muda kala itu terinspirasi dan akhirnya menciptakan sebuah lagu apik tersebut dalam waktu enam bulan. Sebagai bentuk penghargaan atas jasanya terhadap perkembangan musik keroncong, pada tahun 1983 Jepang mendirikan Taman Gesang di dekat Bengawan Solo. Pengelolaan taman ini didanai oleh Dana Gesang, yaitu sebuah lembaga yang didirikan untuk Gesang di Jepang. Sungguh ironis, musik keroncong yang khas Indonesia ternyata lebih dihargai di negeri lain ketimbang di negerinya sendiri. Sepertinya orang Indonesia malu mendengarkan musiknya sendiri. Lihatlah, betapa seorang Gesang lebih diagung-agungkan di Jepang daripada di bumi pertiwi. Bahkan, sampai menutup mata pada tanggal 20 Mei 2010 silam, Gesang tak lebih populer dibandingkan musisi-musisi baru yang masih dipertanyakan kredibiltasnya. Gesang yang sudah membawa harum nama bangsa Indonesia di luar negeri sana, seperti bukan orang besar yang berharga. Padahal, Gesang adalah mutiara mahal milik bangsa kita. Sang “buaya keroncong” meninggal tanpa apresiasi yang layak untuk kiprahnya di musik nan merdu tersebut.
Namun kenyataan tetaplah kenyataan, keroncong seperti mati suri. Kaum muda tak lagi bergairah untuk menghidupkannya kembali, terbuai dengan komersialitas yang lebih menjanjikan. Pelan-pelan musik luar biasa ini meredup tak bercahaya, melirih tak bergaung. Segelintir orang yang mencintainya, justru lebih dihargai di negeri orang. Kesalahan ada pada jaman, yang akhirnya memudarkan keindahan-keindahan musik keroncong.
Tak salah jika ada ungkapan, keroncong, riwayatmu kini. Keroncong, adalah tanggung jawab generasi muda. Saatnya memunculkan gesang-gesang yang baru, sehingga kiprah Indonesia di mata dunia bisa terangkat melalui musik keroncong. Karena, jika musik adalah bagian dari cara manusia berbudaya, tentu tak ada satupun yang boleh hilang dari catatan sejarah, termasuk keroncong.

1 komentar: