Semua orang bisa
berbicara tentang musik. Seperti layaknya udara, musik memang sudah menjadi
kebutuhan semua manusia. Dan seperti tanpa batas, musik terus berkembang
mengikuti langkah-langkah jaman. Bunyi-bunyian berirama tersebut, seperti candu
yang akan menghipnotis telinga-telinga penikmat musik. Dari beragam jenis musik
yang ada saat ini, terdapat satu jenis musik unik yang tak lekang oleh jaman. Yah, 'keroncong'. Keroncong hadir bak pelepas dahaga dari
keseragaman musik-musik industri saat ini. Memanglah benar, jika tidak semua orang bisa
menikmati musik eksotik ini. Tetapi, nuansa keroncong begitu mahal dan berkelas
untuk penikmatnya.
Akar keroncong berasal dari sejenis musik Portugis yang
dikenal sebagai fado, yang diperkenalkan oleh para pelaut dan budak kapal niaga
bangsa itu sejak abad ke-16 di Nusantara. Dari daratan India (Goa) masuklah
musik ini pertama kali di Malaka dan kemudian dimainkan oleh para budak dari
Maluku. Melemahnya pengaruh Portugis pada abad ke-17 di Nusantara tidak dengan
serta-merta berarti hilang pula musik ini.
Tak
terasa, kemodernan jaman akhirnya menggerus nilai-nilai musik keroncong yang
dulu begitu jaya di jamannya. Keroncong tak lagi mengalun dengan gagah, karena
kalah oleh musik-musik populer yang kini sedang marak. Alunan merdu lagu
bengawan solo kini seperti tak bersuara ditelan waktu. Generasi yang berubah
membuat pola baru yang kian menyingkirkan musik nan syahdu tersebut.
Gairah
bermusik di kalangan anak muda tampaknya tidak dibarengi dengan kemampuan
musikalitas yang memadai, walaupun kenyataannya karya-karya mereka cukup
populer saat ini. Padahal, musik keroncong merupakan salah satu aset budaya
bangsa yang sangat luhur. Kendati bukan warisan asli Indonesia, musik keroncong
patut mendapatkan posisi yang sangat strategis di kalangan masyarakat, karena
genre musik ini membawa alunan syair yang menggugah hati dan pikiran manusia.
Kini,
eksistensi musik keroncong semakin jauh dari minat kawula muda. Bahkan, nyaris
tidak pernah terdengar adanya penghargaan terhadap musik keroncong yang seolah
hilang dari peredaran industri musik Tanah Air. Kenyataannya, musik pop lebih
memberikan daya pikat dan instrumen yang sangat memukau ketimbang musik
keroncong yang dianggap klasik dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman.
Keprihatinan
akan musik keroncong yang tidak lagi mendapatkan perhatian dari industri musik
di Indonesia. Ini terlihat jelas dalam daftar calon penerima
penghargaan-penghargaan musik yang ada di dalam negeri, di mana tidak ada satu
pun lagu atau nama penyanyi keroncong yang tercantum di dalamnya. Menghadapi
kenyataan ini maka timbul pertanyaan, apakah lagu dan penyanyi keroncong memang
tidak layak menerima penghargaan seperti itu? Mengapa musik dan lagu keroncong
seolah-olah dimarjinalkan oleh industri musik di Indonesia? Pertanyaan ini
hanya akan terjawab oleh nurani yang masih sadar bahwa kemegahan musik
keroncong terdapat dalam jiwa yang tercipta di setiap nadanya. Sungguh, musik
ini tidak akan pernah tergantikan oleh musik apapun.
Berbicara
tentang keroncong, tidak lengkap rasanya jika tidak membicarakan alm. Gesang,
sang maestro keroncong. Di kalangan pecinta keroncong, Bengawan Solo adalah
lagu kebangsaan yang wajib dinyanyikan. Lagu bengawan solo adalah lagu
keroncong yang mampu menyebrangi lautan. Lagu yang sangat di gemari di Jepang.
Merupakan bahasa umum yang melintasi dunia. Adalah Gesang Martohartono, atau yang akrab dipanggil Gesang, pencipta
lagu fenomenal tersebut. Gesang lahir di Surakarta, Jawa Tengah, pada tanggal 1
Oktober 1917. Lewat lagu ciptaannya Bengawan Solo, Gesang akhirnya dikenal
sebagai maestro keroncong di Asia, terutama di Indonesai dan Jepang.
Setidaknya, lagu bengawan solo tersebut sudah diterjemahkan ke dalam 13 bahasa.
Kekagumannya terhadap sungai bengawan solo, membuat
Gesang muda kala itu terinspirasi dan akhirnya menciptakan sebuah lagu apik
tersebut dalam waktu enam bulan. Sebagai
bentuk penghargaan atas jasanya terhadap perkembangan musik keroncong, pada
tahun 1983 Jepang mendirikan Taman Gesang di dekat Bengawan Solo. Pengelolaan
taman ini didanai oleh Dana Gesang, yaitu sebuah lembaga yang didirikan untuk
Gesang di Jepang. Sungguh ironis, musik keroncong yang khas Indonesia ternyata
lebih dihargai di negeri lain ketimbang di negerinya sendiri. Sepertinya orang
Indonesia malu mendengarkan musiknya sendiri. Lihatlah, betapa
seorang Gesang lebih diagung-agungkan di Jepang daripada di bumi pertiwi.
Bahkan, sampai menutup mata pada tanggal 20 Mei 2010 silam, Gesang tak lebih
populer dibandingkan musisi-musisi baru yang masih dipertanyakan
kredibiltasnya. Gesang yang sudah membawa harum nama bangsa Indonesia di luar
negeri sana, seperti bukan orang besar yang berharga. Padahal, Gesang adalah
mutiara mahal milik bangsa kita. Sang “buaya keroncong” meninggal tanpa
apresiasi yang layak untuk kiprahnya di musik nan merdu tersebut.
Namun
kenyataan tetaplah kenyataan, keroncong seperti mati suri. Kaum muda tak lagi
bergairah untuk menghidupkannya kembali, terbuai dengan komersialitas yang
lebih menjanjikan. Pelan-pelan musik luar biasa ini meredup tak bercahaya,
melirih tak bergaung. Segelintir orang yang mencintainya, justru lebih dihargai
di negeri orang. Kesalahan ada pada jaman, yang akhirnya memudarkan
keindahan-keindahan musik keroncong.
Tak
salah jika ada ungkapan, keroncong, riwayatmu kini. Keroncong, adalah tanggung
jawab generasi muda. Saatnya memunculkan gesang-gesang yang baru, sehingga
kiprah Indonesia di mata dunia bisa terangkat melalui musik keroncong. Karena,
jika musik adalah bagian dari cara manusia berbudaya, tentu tak ada satupun
yang boleh hilang dari catatan sejarah, termasuk keroncong.
terima kasih infonya......
BalasHapussangat menarik dan bermamfaat......